Kecamatan Tanjung Priok terletak di Jakarta Utara. Di daerah ini terdapat Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan terpadat di Indonesia.
Sejak dahulu kawasan ini merupakan pelabuhan prasejarah sejak zaman penyebaran agama Hindu, dan kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda Tanjung Priok benar-benar dikembangkan menjadi kawasan pelabuhan komersial pada akhir abad ke-18.
Kata Tanjung Priok berasal dari kata tanjung yang artinya daratan yang menjorok ke laut, dan priok (periuk) yaitu semacam panci masak tanah liat yang merupakan komoditas perdagangan sejak zaman prasejarah.
Anggapan nama Tanjung Priok berasal dari tokoh penyebar Islam Mbah Priuk (Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain) menurut pendapat budayawan Betawi Ridwan Saidi dan sejarawan Alwi Shahab adalah salah, karena kawasan ini sudah bernama Tanjung Priok jauh sebelum kedatangan Mbah Priuk pada tahun 1756.
Pelabuhan air modern terbesar se-Indonesia di Jakarta. Dibangun untuk menggantikan pelabuhan lama yakni Pasar Ikan yang dinilai sudah tidak memenuhi syarat lagi. Lokasinya berjarak sekitar 9 km di sebelah timur dari pelabuhan lama. Wilayahnya masuk dalam lingkup administratif pemerintahan Kelurahan Tanjung Priok, Kec. Tanjung Priok, wilayah Kotamadya Jakarta Utara. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan suatu pelabuhan laut dalam yang pertama di mana kapal-kapal dapat bersandar, memuat batubara dan diperbaiki di suatu dok yang kering. Sebuah jalan kereta api juga dibuat untuk menghubungkan Tanjung Priok dengan kota lama Batavia dan daerah baru di selatan. Bermula dari kritik atas kelemahan fasilitas pelabuhan lama di Batavia, Tanjung Priok sampai sekarang tetap eksis sebagai pelabuhan penting bagi Jakarta untuk lalu lintas kapal-kapal besar.
Sebelum menjadi areal pelabuhan, awalnya areal ini merupakan tanah partikelir Tanjung Priok dan tanah partikelir Kampung Kodya Tanjung Priok, yang dikuasai oleh beberapa orang tuan tanah yaitu: Hana birtti Sech Sleman Daud; Oeij Tek Tjiang; Said Alowie bin Abdulah Atas; Ko Siong Thaij; Gouw Kimmirt; dan Pattan. Tanah partikelir tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda, lalu disewakan kepada maskapai pelayaran Koninklijke Paketvaar Maatschappij (KPM) guna pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan Tanjung Priok. Tanah partikelir tersebut merupakan areal kebun kelapa. Gagasan pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok dipelopori oleh kalangan swasta pemilik modal (kaum kapitalis) di negri Belanda.
TIME LINE
1877 - 1886 Pengerjaan pelabuhan tanjung priok dimulai.Dimulai dengan pembangunan Pelabuhan I setelah adanya ketentuan bahwa kegiatan Pelabuhan Sunda Kelapa dipindahkan ke Tanjung Priok. Perencana pelabuhan ini adalah Ir.J.A.A. Waldrop, seorang insinyur yang berasal dari Belanda sedangkan pelaksananya adalah Jr. J.A. de Gelder dari Departement B.O.W., seorang Insinyur Perairan.
1886 Diresmikannya Pelabuhan Tanjung Priok , maka kegiatan pelabuhan utama Batavia yang semula berada di Kali Ciliwung sekitar kasteel Batavia dialihkan ke Pelabuhan Tanjung Priok, dan Pelabuhan Kali Ciliwung tersebut, kemudian dikenal dengan nama Pelabuhan Pasar Ikan.
1914 Dimulai pembangunan Pelabuhan II. Pemborong bangunannya adalah Volker.
1917 pembangunan selesai dengan panjang kade pelabuhan 100 meter dan kedalaman air 9,5 meter LWS, sedangkan bendungan bagian luar dirubah dan diperpanjang sedang lebar kade 15 meter untuk double spoor kereta api dan kran-kran listrik
1917 dibangun juga tempat penyimpanan batubara oleh NISHM serta tempat penyediaan bahan bakar oleh BPM dan Shell.
1921 Pelabuhan III mulai dibangun, tetapi terhenti akibat Malaise.
1929 Kemudian dilanjutkan kembali dan selesai tahun 1932 dengan panjang kade 550 meter di sebelah barat.
7 Maret 1942
Pada masa pendudukan Jepang, Pelabuhan Tanjung Priok dikuasai oleh Djawa Unko Kaisya yang berada di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Kondisi pelabuhan sebagian rusak, khususnya sengaja dirusak oleh Belanda yang menyerah kepada Jepang . Agar pelabuhan dapat dioperasikan, Jepang mengerahkan tenaga Romusha untuk memperbaiki pelabuhan. Seperti pengerukan alur, pembersihan alur dari ranjau-ranjau yang sengaja ditebarkan oleh Belanda. Selain alur pelabuhan, banyak fasilitas lainnya yang rusak dan harus diperbaiki, seperti gudang-gudang, dok, dermaga dan jalan.
17 Agustus 1945
Setelah kemerdekaan RI , Pelabuhan Tanjung Priok diambil alih oleh bangsa Indonesia/pemerintah RI melalui Badan Keamanan Rakyat Laut Tanjung Priok bersama pejuang Indonesia lainnya yang umumnya merupakan pekerja pada Pelabuhan Tanjung Priok di masa Kolonial Belanda maupun masa Kolonial Jepang
Pengelolaan pelabuhan umum di lakukan oleh Perusahaan Negara (PN) Pelabuhan 1s/d VIII berdasarkan Undang-undang Nomor: 19 prp tahun 1960.
1969 - 1983 |
Pengelolan pelabuhan umum dilakuan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1969. PN Pelabuhan dibubarkan dan lembaga pemerintah Port Authority diganti menjadi BPP. |
|
13 Januari 1971
terjadilah penandatanganan perjanjian kerjasama Pelabuhan Tanjung Priok dengan Priams (Amsterdam) dengan tukar menukar data dan pendalaman sebagai bahan perbandingan.
1974 Pembangunan Proyek Besar Dermaga Pelabuhan III Timur dan Dermaga Pelabuhan I Timur sebagai tambahan terbesar untuk fasilitas tempat di pelabuhan.
5 Juli 1975
motto Tanjung Priok sebagai "Si Denok Bandarwati". Motto tersebut bermakna "Hari esok haruslah lebih baik dari hari ini karena hari ini telah lebih baik dari hari kemarin".
1983 - 1992 |
Pada tahun 1983, BPP diubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan yang hanya meangelola pelabuhan umum yang diusahakan, sedangkan pengelolaan pelabuhan umum yang tidak usahakan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubngan Laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 1983. PERUM Pelabuhan dibagi menjadi 4 wilayah operasi yang dibentuk berdsarkan Peaturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1983.
1992 - 2012 |
Perubahan status PERUM Pelabuhan II menjadi PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 tanggal 19 Oktober 1991, dan dikukuhkan dengan Akta Notaris Imas Fatimah Sarjana Hukum di Jakarta pada tanggal 1 Desember 1992. Peningkatan status perusahaan dari PERUM PELABUHAN II menjadi PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) merupakan suatu kepercayaan dari pemerintah, didasarkan pada pertimbangan keberhasilan manajemen meningkatkan pengelolaan pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan selama ini. |
|
|
Pelabuhan Tanjung priok sekarang |
|
Pelabuhan Tempo dulu |
|
Kepadatan Pelabuhan tanjung priok |
|
Pelabuhan tempo dulu |
SEJARAH SINGKAT STASIUN TANJUNG PRIOK
Keberadaan Stasiun Tanjung Priok tidak dapat dipisahkan dengan ramainya Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan kebanggan masa Hindia Belanda itu, dan bahkan berperan sebagai pintu gerbang kota Batavia serta Hindia Belanda.
Bandar pelabuhan yang dibangun pada 1877 di masa Gubernur Jendral Johan Wilhelm van Lansberge yang berkuasa di Hindia-Belanda pada tahun 1875-1881 itu semakin mengukuhkan perannya sebagai salah satu pelabuhan paling ramai di Asiasetelah dibukanya Terusan Suez.
Stasiun Tanjung Priok menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Batavia yang berada di selatan. Alasan pembangunan ini karena pada masa lalu wilayah Tanjung Priok sebagian besar adalah hutan dan rawa-rawa yang berbahaya sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada saat itu (kereta api). Pada akhir abad ke-19, pelabuhan Jakarta yang semula berada di daerah sekitar Pasar Ikan tidak lagi memadai, dan Belanda membangun fasilitas pelabuhan baru di Tanjung Priok.
Stasiun ini dibangun tepatnya pada tahun 1914 pada masa Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (1909-1916). Untuk menyelesaikan stasiun ini, diperlukan sekitar 1.700 tenaga kerja dan 130 di antaranya adalah pekerja berbangsa Eropa.
Bahkan sejak diselesaikannya stasiun ini, telah timbul protes mengenai "pemborosan" yang dilakukan dalam pembangunan stasiun ini. Dengan 8 peron, stasiun ini amatlah besar, dan nyaris sebesar Stasiun Jakarta Kota yang pada masa itu bernama Batavia Centrum. Sementara, kereta api-kereta api kapal yang menghubungkan kota-kota seperti Bandung dengan kapal-kapal Stoomvaart Maatschappij Nederland dan Koninklijke Rotterdamsche Lloyd langsung menuju ke dermagapelabuhan dan tidak menggunakan stasiun ini. Stasiun ini terutama hanya digunakan untuk kereta rel listrik yang mulai digunakan di sekitar Batavia pada tahun 1925.
Stasiun Tanjung Priok adalah salah satu stasiun tua yang terletak di seberang Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Memiliki langgam bangunan art deco, stasiun ini termasuk salah satu bangunan tua yang dijadikan cagar budaya DKI Jakarta.Stasiun ini dibangun tepatnya pada tahun 1914 pada masa Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (1909-1916). Untuk menyelesaikan stasiun ini, diperlukan sekitar 1.700 tenaga kerja dan 130 di antaranya adalah pekerja berbangsa Eropa. stasiun ini sebenarnya memiliki fasilitas yang cukup memadai saaat itu. Mulai dari sebuah restoran yang sangat keren dengan lift yang digunakan untuk mengantar makanan ke pengunjung yang menginap di sana.Didalam stasiun ini ada papan informasi yang informatif mengenai sejarah perkeretaapian di Indonesia.Uniknya, di stasiun ini terdapat sejenis bunker dan terowongan yang katanya bisa tembus ke Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, stasiun ini sebenarnya memiliki fasilitas yang cukup memadai saaat itu. Di lantai dua Stasiun Tanjung Priok ini terdapat penginapan yang banyak di gunakan oleh penumpang yang datang dari luar negeri. Kebanyakan dari mereka sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta, semacam transit.
KEADAAN TERKINI
Menjelang awal abad ke-21, kondisinya sempat tidak terawat. Meskipun demikian, stasiun peninggalan pemerintah Hindia-Belanda ini nampaknya seakan tidak peduli dengan perubahan suasana di sekitarnya. Seakan tidak peduli dengan teriknya hawa dipinggir pantai Tanjung Priok, kerasnya kehidupan pelabuhan dan hilir mudiknya kendaraan besar seperti kontainer bahkan semrawutnya terminal bus di depannya.
Tetapi kita masih dapat membayangkan betapa artistiknya seni perpaduan antara gaya neo klasik dengan gaya kontemporer. Tak aneh jika bangunan ini pernah berjaya, sebagai salah satu stasiun kebanggaan warga Batavia di era akhir abad ke-18.
Semakin masuk ke dalam bangunan stasiun itu, kondisi bangunan yang memprihatinkan itu semakin terkuak. Atap bangunan yang menjadi saksi perkembangan kota Jakarta ini sudah terlepas di sana-sini. Kaca-kaca dan kerangka atap bangunan sudah mulai lekang dimakan usia. Areal peron sebagian sudah tidak terawat bahkan di sisi barat sudah dipenuhi oleh para tunawisma.
Kemunduran fisik stasiun itu bermula ketika ia tidak berfungsi lagi sebagai stasiun penumpang pada awal Januari 2000. Pengebirian fungsi itu membuat pemasukan dana dari tiket peron semakin berkurang. Inilah yang menyebabkan PT Kereta Api(Persero) menyewakan ruangan yang ada di depan bangunan stasiun. Maka bagian depan stasiun pun terisi pemandangan kantor-kantor jasa seperti penjualan tiket kapal laut, pengiriman barang hingga jasa penukaran uang asing sebelum akhirnya PT Kereta Api Indonesia memutuskan membuka kembali stasiun Tanjung Priok sebagai stasiun penumpang pada tahun 2009.
Persiapan dilakukan pada bulan November-Desember 2008 dengan dilaksanakannya renovasi besar-besaran terhadap fisik bangunan stasiun. Selanjutnya, proyek diteruskan dengan rehabilitasi fasilitas track serta pembangunan perangkat sinyal elektrik pada awal tahun 2009. Pada tanggal 28 Maret 2009, stasiun Tanjung Priok dapat kembali difungsikan dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
BUNKER MISTERIUS DI STASIUN TANJUNG PRIOK
Ada yang makin bikin menarik di Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara yang sudah beroperasi kembali dengan kondisi bangunan yang sudah dikonservasi. Setidaknya pada akhir pekan lalu ketika serombongan pecinta sejarah menyambangi stasiun bikinan CW Koch pada tahun 1914 ini, ada si Bon Bon yang sudah kinclong nangkring di salah satu spoor di stasiun dengan delapan jalur ganda ini.
Selain si Bon Bon, pihak PT KA tak lupa mengungkap keberadaan ruang bawah tanah (bunker) di bangunan ini. Sontak peserta membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa dilihat di bunker sebuah stasiun besar di utara Batavia. Didorong rasa penasaran maka peserta tak sabar untuk antre masuk ke dalam bunker. Setelah melalui lorong sempit dan curam, akhirnya terlihat ruang pengap yang digenangi air.
Air setinggi sekitar mata kaki ini membuat peserta tak bisa menelusur ke tiga ruang yang terlihat dari pintu masuk bunker. Belum diketahui apa fungsi bunker di stasiun ini, ke arah mana bunker berlanjut. Tri Prasetyo, dari bagian Pusat Konservasi Heritage PT KA, menjelaskan, pihaknya belum bisa melakukan penelitian lebih lanjut sebelum ada sinyal dari bidang purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Pemprov DKI.
Pasalnya, ketika pihak Stasiun Tanjungpriuk mulai membongkar bunker, ditemukan pula dua sendok berbahan tembaga dan perak yang diperkirakan dari abad 19 atau awal abad 20. "Maka kami enggak berani bertindak lebih lanjut, takut ada benda-benda lain yang berharga atau malah merusak kondisi bunker. Kami menunggu pihak dari Ditjen Purbakala, supaya ada penelitian lebih lanjut," ujar Tri.
Sendok tadi bisa saja merupakan peninggalan dari stasiun yang punya tempat penginapan di lantai dua. Banyak pejabat atau warga Belanda yang tiba di Batavia dari Pelabuhan Tanjung Priok. Selanjutnya mereka menggunakan kereta api ke tempat tujuan. Untuk akomodasi sebagai tempat transit, maka Stasiun Tanjung Priok yang baru menyediakan ruang yang berfungsi sebagai hotel. Jadi pendatang yang tiba kemalaman atau menunggu keberangkatan kapal laut bisa menginap di sana.
Konon, selama ini keberadaan bunker tersebut sengaja ditutup rapat – selain data tentang fungsi bunker di Stasiun Tanjungpriuk sulit ditemukan juga, keberadaan bunker tak tercantum dalam maket besar stasiun itu. Alasan mengapa bunker itu dirahasiakan tentu memunculkan beragam teori. Ada yang mengatakan, kemungkinan besar bunker itu adalah lorong panjang yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dan Stasiun Tanjung Priok untuk mengirim dan menerima barang-barang terlarang. Katakanlah candu.
Jika dalam beberapa literatur, juga bukti secara fisik, bunker memang bertebaran di Batavia khususnya pada tahun 1940-an, saat perang dunia kedua, maka tidak demikian dengan bunker di stasiun yang dibangun di zaman Gubernur Jenderal AFW Idenburg ini. Pasalnya, bangunan bunker terlihat menyatu dengan bangunan stasiun dan terletak di dalam bangunan. Umumnya, bunker di Batavia ada di luar bangunan utama karena memang perintah membangun bunker datang baru di tahun 1940.
Untuk mengetahui lebih lanjut sejarah bunker, fungsi serta ke mana bunker ini berujung tampaknya kita masih harus bersabar. Bunker bisa menjadi atraksi wisata baru di Tanjung Priok, khususnya tentu di stasiun itu. Diharapkan tahun ini segala sesuatu tentang bunker ini bisa terungkap, air yang merendam diharapkan juga bisa disedot sehingga warga bisa melihat sendiri ke dalam bunker dengan tiga ruang itu.
Tahun ini pula diharapkan si Bon Bon, lokomotif listrik ESS 3201 buatan tahun 1926 buatan pabrik Werkspoor, akan ditempatkan di stasiun monumental tersebut sebagai salah satu atraksi wisata. Lokomotif ini melayani penumpang Jakarta - Buitenzorg (Bogor) sejak akhir 1920-an sampai pertengahan 1970-an.
Cerita tentang si Bob Bon bermula saat menjelang ulang tahun Staats Spoorwegen (SS) yang ke 50 pada tahun 1925. Pada peresmian Stasiun Tanjungpriuk pada tahun 1925 proyek elektrifikasi di Batavia, Tanjungpriuk- Meester Cornelis (Jatinegara) pun kelar. Lalu untuk melengkapi program elektrifikasi ini dipesan pula sejumlah kereta api listrik dan lokomotif listrik. Salah satu jenis lokomotif listrik yang dipesan adalah kelas 3200 buatan Werkspoor - Heemaf. Dirancang dan diproduksi oleh Werkspoor dengan lisensi Baldwin sementara perlengkapan elektrik dibuat oleh Heemaf atas lisensi Westinghouse.
Salah satunya lokomotif itu bernomor 3201. Usai masa tugas, lokomotif ini dibiarkan begitu saja di bawah pohon. Bentuk dalam dan luar lokomotif ini sudah penuh karat, kotor, nyaris jadi besi tua belaka.
Pada Agustus 2006 sekelompok penggemar kereta api (railfans) yang tergabung dalam Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) membentuk Sahabat Bon-bon untuk menyelamatkan lok listrik ESS 3201 dan menjadikannya monumen. Komunitas inilah yang kemudian bekerja pro bono demi lokomotif berbentuk kotak bonbon ini. Rencana awal, Bon Bon akan dipasang di Stasiun Beos bersamaan dengan peresmian revitalisasi kota tua namun akhirnya rencana itu batal dan rencana lain muncul, Bon Bon akan ditempatkan di salah satu sudut Stasiun Tanjung Priok.
Rencana itu pun masih dalam proses agar si Bon Bon siap betul dipasang di stasiun yang baru kembali beroperasi itu.
POTRET BURAM
ALUNAN musik dangdut menyentak keras dari puluhan warung tenda yang berjejer di bantaran rel Kereta Api Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dinginnya malam serasa menusuk tulang, tidak menghalangi beberapa wanita yang membalut tubuh mereka dengan pakaian minim nan seronok. Wangi parfum menyengat serta bedak tebal dan warna lipstik merah menyala seakan menantang siapa pun yang melihat.
Tak peduli, di antara mereka tampak sudah tak muda lagi, tapi demi sesuap nasi, kulit keriput pun tak jadi soal untuk bersaing dengan yang bening. Para wanita itu adalah penjaja Seks Komersial yang biasa mangkal di bantaran rel Kereta Api Stasiun Tanjung Priok. Mereka berusaha menarik perhatian para lelaki hidung belang yang berseliweran.
Sesekali terdengar tawa mereka yang sengaja dibuat manja dan menggoda, berharap para kaum adam bisa sedikit melirik. Ada juga yang mencoba merayu dengan siulan-siulan kecil.
"Pssst..pssst..Mau ke mana, Mas," panggil salah seorang wanita paruh baya pada beberapa pria yang lewat di depannya. Ia berusaha melempar senyum paling menggoda yang dimilikinya, dengan mata yang tak kalah nakalnya.
Pela-pela, demikian nama tempat mangkal para wanita penghibur itu. Pela-pela terletak tepat di bantaran rel kereta api Stasiun Tanjung Priok.
Menurut salah satu pengunjung, Mamang, 60, Pela-Pela merupakan singkatan dari pelacur-pelacur "Mungkin disebut gitu, karena banyak pelacurnya," ujarnya.
Sarkastis memang nama itu, tapi tak ada yang peduli. Paling penting, satu pihak menerima kepuasan, dan yang lainnya mendapat sedikit uang untuk sekadar bertahan hidup.
Tidak ada yang tahu persis kapan Pela-pela menjadi kawasan prostitusi. Semua datang dan pergi, seakan sudah saling tahu kemana harus melangkahkan kaki jika ingin mendapatkan kenikmatan yang dicari.
"Sejak tahun 70an seinget saya sih sudah ada," jelas Mamang. Setiap malam, ratusan PSK menjajakan jasanya kepada pengunjung yang rata-rata pria.
Kebanyakan pria yang datang, berusia diatas 30 tahun. Banyak warung tenda yang berdiri di daerah ini. Rata-rata menyediakan berbagai minuman keras, dari anggur cap orang tua, anggur rajawali sampai vodka.
Tampak beberapa wanita bercengkrama sambil menemani teman kencannya menikmati anggur Rajawali di warung milik bu Inah,45. Salah satu wanita itu bernama Erni, 32, yang mengaku berasal dari Aceh.
Teman kencannya, Naldi, 52, berusaha menawari Erna segelas anggur Rajawali. "Aku gak mau kalau minum (anggur) Rajawali, takut terbang. Kalau Vodka aku mau," canda Erni.
Menurut pengakuannya kepada mediaindonesia.com, ibu dengan satu anak ini baru empat bulan mangkal di Pela-Pela. "Pertama kali ke Jakarta ketemu sama Inah,akhirnya ya sekarang saya kerja dis ini," ujarnya sambil menenggak segelas bir.
Erni saat ini tinggal di sebuah rumah bedeng tidak jauh dari Pela-Pela, bersama anaknya yang masih balita. Ketika Erni sedang bekerja, sang anak dititipkan ke tetangganya dengan tarif Rp25.000 per hari.
Dia terpaksa menjadi ibu sekaligus ayah bagi anaknya seak dirinya bercerai tiga tahun yang lalu. Penghasilan Erni tiap malamnya tidak menentu, kadang Rp200 ribu, tidak jarang pula dia mendapatkan kurang dari Rp200 ribu. Wanita berkulit putih ini memasang tarif Rp60.000 termasuk kamar. Kamar yang disediakan berbentuk tenda beratapkan terpal, berukuran 1,5 X 2 meter.
"Tapi biasanya yang muda kadang rese, gak sabaran. Kalau yang sudah berumur biasanya lebih sabar dan pelayanannya lebih maksimal," jelas Ipah, pemilik warung. Ipah berjualan di warung tenda belum genap 10 tahun. Sebelumnya, wanita asal Indramayu ini berjualan jamu bersama sang suami di daerah Warakas, Jakarta Utara.
Ipah berujar, kawasan Pela-Pela selama ini relatif aman dari penertiban. Setiap harinya, dia harus membayar Rp 5000 kepada koordinator wilayah. Selain itu, wanita paruh baya ini harus mengeluarkan Rp 5.000 setiap minggu dan Rp10.000 setiap bulan. Itu masih di luar Rp90 ribu per bulan untuk membayar listrik jika warung tenda dilengkapi dengan audio musik.
"Makanya aman dari gusuran, semuanya dapat, termasuk kelurahan," kata Ipah. Tidak lama kemudian, datang seseorang pria berumur 20 tahunan, datang menghampiri bu Ipah untuk mengambil setoran harian. "Itu saya kasih lima ribu," bisiknya.
Di Pela-pela ini, ada juga jasa pemijatan dengan tarif Rp20 ribu untuk sekali pijat. Letaknya di bantaran rel kereta api di samping stasiun Tanjung Priok. Mereka memijat hanya beralaskan tikar dan beratapkan langit. Rata-rata pemijat disini berusia 40 tahun ke atas.
"Pijatannya enak, tapi uda tua semua. Tapi kita harus tahan malu sama orang lain yang lewat, soalnya kita dipijat cuma pakai kolor saja," jelas Joni salah satu pengunjung.
Malam semakin larut, namun kehidupan malam di Pela-pela tetap berlanjut. Ani, Erni, dan penghuni Pela-pela lainnya berharap tempat ini tidak pernah sepi demi kelangsungan hidup mereka.
Begitulah wajah Pela-pela, selalu ramai di malam hari seakan hendak menyembunyikan potret buram Stasiun Tanjung Priok di malam hari.
Sayang sekali jika tempat yang penuh dengan sejarah ini dijadikan tempat menjajakan diri oleh para pekerja seks. Perhatian dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga isi atau sejarah dari stasiun tersebut.
Tapi apalah daya, disana banyak sekali orang yang bekerja untukmencari sesuap nasi walaupun dengan cara yang haram.
|
Bunker stasiun |
|
Stasiun Tempo Dulu |
|
Loket Stasiun |
|
Kondisi Stasiun |
|
Main Gate |
|
Tampak Muka Stasiun |
|
Dapur Stasiun Pada Masa Belanda Yang Sudah Tidak Beroprasi |
|
Struktur Bentang Lebar Stasiun |