Jumat, 12 Oktober 2012

Studio #RuangWaktu Sejarah Salemba dan Sekitarnya & Sungai Ciliwung (oleh Megaharto Harpandi, Sri Dewita, Hifzani Zweardo, Devina Setiono)

Sejarah Salemba

Salemba 1880
sumber: http://kamalmisran.files.wordpress.com
Pada abad 16, saat Belanda datang untuk menjajah Indonesia, Salemba bernama Struyswijk. Nama tersebut berasal dari serang tuan tanah, Abraham Struys yang merupakan seorang perwira VOC. Abraham Struys mengubah rawa-rawa menjadi bidang tanah yang bisa ditanami. Ketika Struys meninggal, tanah yang ia miliki tersebut dijual dan sekarang menjadi Salemba.

Pada tahun 1808, Jendral Daendels membangun jalan besar di Salemba dan menamakannya Daendels Street. Jalan ini dibangun untuk menghubungkan Mesteer Cornelis (Jatinegara), Senen dan Gambir.

LOKASI


Wilayah Salemba dengan bangunan & objek historis penting

STOVIA

Salemba sendiri mulai banyak dikenal ketika pemerintah Belanda membangun perguruan tinggi STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) pada tahun 1898 yang merupakan sebuah sekolah untuk pendidikan kedokteran untuk pribumi. Sekarang ini STOVIA digunakan untuk kampus Universitas Indonesia fakultas kedokteran.

Gedung STOVIA
sumber: http://mmzrarebooks.blogspot.com

RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO


—Di belakang Fakultas Kedokteran UI terdapat RSUP Tjipto Mangunkusumo yang juga menjadi tempat praktek para mahasiswa kedokteran.Rumah sakit ini dulu dikenal dengan nama CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis)Rumah sakit CBZ  menjadi satu dengan STOVIA yang kemudian menjadi rumah sakit umum pada thn 1950.Dan menjadi RS Cipto Mangunkusumo pd 1964.

Gedung Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting
sumber : 
http://upload.wikimedia.org/

STASIUN SALEMBA

—Setelah Jalur Noord Batavia - Buitenzorg milik NIS dijual kepada SS pada tahun 1913 maka Jalur St Tn Abang - St Salemba - St. Kramat / Halte Struiswijk ini ditutup dan dipindah ke sebelah selatan menyusuri Kali Banjir Kanal Barat menjadi jalur St Tn Abang - St Manggarai dan di buat jalur penghubung dari St Manggarai menuju St Jatinegara (sebelumnya St. Manggarai dan St Jatinegara tidak terhubung karena masing masing milik NIS dan SS). jalur St Manggarai - St Jatinegara baru terhubung sekitar 1917.
St Salemba yang terhubung dengan dengan St Pegangsaan (Cikini Sekarang) dibongkar setelah berhentinya manufaktur opium di Salemba. rel KA Pegangsaan-Salemba secara resmi ditutup 2 September 1981.










Jalur yang bercabang menuju gudang buah dan pabrik opium
Jembatan Salemba yang menghubungi Stasiun Cikini dengan Stasiun Salemba


Kondisi Stasiun Salemba Sekarang




PABRIK OPIUM



—Berawal didirikanlah Regie Candu atau badan pemerintah yang khusus mengurusi urusan candu, dan di Batavia pada tahun 1894 didirikan pabrik madat pertama yang berlokasi di Meester Cornelis atau Jatinegara dan di Struiseijk atau Gang Tengah.
—Menyusul kemudian, di Kramat pada tahun 1901 didirikan pabrik madat yang lebih besar kapasitas produksinya dan lebih modern mesin yang digunakan produksinya. —Pabrik opium ini dibangun pada tahun 1913, —pusatnya sekarang di kawasan kampus Kedokteran UI Salemba Raya —Tepatnya sebelah utara gedung STOVIA. Produksinya dipasok ke Glodok, sekitar Jakarta hingga keluar ke Jawa.


Foto udara pabrik opium


Jalur trak perdagangan opium


Foto Pabrik Opium
—Di sekitarnya juga terdapat lapangan, yang suka dipakai main anak-anak. Meski pabrik opium itu besar, situasi di sekitarnya tidak ramai, sepi.
Kalau udah jam 2 siang suasana di sekitar pabrik sepi. Suram, kayak di kuburan. Suasananya seram, apalagi ketika hujan atau mendung. Anak-anak nggak berani ke situ,” kata Gani yang waktu itu suka bermain bersama anak-anak kampung Kenari di sekitar pabrik.
Saat itu tak ada penjagaan yang ketat di sekitar pabrik, sehingga anak-anak bisa bermain bebas di lapangan dekat pabrik. Abdillah Gani dan kawan-kawannya juga bisa melihat gedungnya dari luar karena pekarangannya hanya dibatasi dengan pagar kawat saja.

Foto Gerbang Masuk Pabrik Opium

Foto-foto ini dibuat pada tahun 1925 disaat pemerintah Belanda memonopoli perdagangan opium di seantero Pulau Jawa sehingga menjadikan opium sebagai bagian penting dari sejarah sosial ekonomi masyarakat Jawa ketika itu.


Suasana Pabrik Opium


Suasana Pabrik Opium

Karyawannya banyak. Sebagian besar didatangkan dari daerah Jawa, ± 1000 org pekerja "
Orang-orang di sekitar pabrik, kampung Kenari, menolak bekerja di pabrik yang dimiliki oleh Belanda. Kampung ini dihuni oleh penduduk Betawi yang sebagian besar bekerja sebagai kusir delman. “Di sini orang-orangnya anti penjajah. Maka orang-orang di sini dianggap komunis oleh Belanda.

Pengelolaan Pabrik Opium

Pabrik ini dikenal besar dan menjadi pusat produksi opium bukan saja di wilayah Batavia tapi untuk daerah koloni-koloni jajahan Belanda.
Produksi opium dari pabrik Batavia itu juga diekspor ke negara-negara Eropa dan menjadi pemasok utama ke seluruh wilayah Hindia Belanda, Netherlands East Indies.

Alat Pengolahan

Pabrik yang beroperasi pada 1900-an itu memproduksi ribuan butir opium.
Di Batavia, opium terlebih dulu didistribusikan ke Glodok, sebagai pusat distributor opium Batavia. “Di sana siapa saja boleh beli. Di sana juga disediakan rumah-rumah ngisep opium. Di Glodok, namanya Petak Sembilan."

Kemasan Opium

Kotak kayu dengan contoh opium didalamnya,(foto thn 1910).





Rumah Madat di Gang Kali Mati

Lokasi di dekat petak 9 (pancoran v)
Sebuah gang tempat berdirinyaan sejumlah rumah-rumah opium (rumah madat yang mendapat ijin dr pemerintah)
Tahun 1960-an sudah habis,” katanya. “Sejak morpin ada, opium sudah habis,” – Akey (cina peranakan yang lahir di Jalan Petak 9,)

Pecandu Opium


Masa jaya dan masa kemunduran pabrik opium dapat terlihat pada :

Siddarth Chandra dari University of Pittsburgh menulis pada tahun 1928 merupakan titik puncak kejayaan Pemerintah kolonial Belanda karena meraup keuntungan tertinggi dari opium sebesar 34.6 juta gulden, dan mendapat masukan dari total pajak penjualan opium sebesar 835.9 juta gulden.
Satu papernya berjudul Economic Histories of the Opium Trade mengungkapkan pada pertengahan tahun 1928 adalah titik tertinggi dari penjualan opium di Hindia Belanda, yaitu sebesar 60.000 kilogram.
pada 1929 hingga tahun 1936 merupakan masa dimulainya periode kejatuhan kronis penjualan opium Hindia Belanda. Chandra menulis masa itu sebagai masa Great Depression.

Sekarang, pabrik opium ini beralih fungsi menjadi gedung management UI


Perubahan fungsi menjadi gedung Management UI

Foto suasana sekarang

Bangunan Bersejarah dan Penting 
yang Berada di Didekat Sungai Ciliwung



Setelah mencoba untuk menyusuri dan memperhatikan aliran sungai ciliwung baik menjalani langsung dan memperhatikan dari peta, ternyata di dekat aliran sungai ciliwung banyak terdapat bangunan-bangunan bersejarah dan penting yang jaraknya tidak terlalu jauh dari aliran sungai tersebut. Hal ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih dalam dan mencoba mengetahui apa maksud dari perencanaan seperti ini.

Adapun bangunan-bangunan tersebut adalah :
  1. (A) Museum Thamrin
  2. (B) Tugu Proklamasi
  3. (C) Museum Sasmitaloka Jenderal Ahmad Yani
  4. (D) Museum Perumusan Naskah Proklamasi
  5. (E) Rumah Sakit PGI Cikini (Eks Rumah Raden Saleh)
  6. (F) Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki
  7. (G) Meseum Sasmitaloka Jenderal Besar A. H. Nasution
  8. (H) Masjid Cut Mutia
  9. (I) Gedung Joang '45
  10. (J) Museum Sumpah Pemuda
  11. (K) Museum Kebangkitan Nasional
  12. (L) Monumen Nasional
  13. (M) Istana Negara
  14. (N) Masjid Istiqlal
  15. (O) Gedung Kesenian Jakarta

MUSEUM THAMRIN

Gambar 1 : Museum M.H. Thamrin
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/jakarta/museum-mh-thamrin-10.jpg


Berada di Jalan Kenari II/15, Senen, Jakarta Pusat. Museum ini berisi tentang barang-barang peninggalan MH Thamrin ketika masih berjuang demi kemerdekaan Republik ini. Gedung ini diresmikan sebagai Museum Nasional pada 11 Januari 1986 oleh Gubernur DKI Jakarta (waktu itu) R. Soeprapto. Sebelumnya tahun 1972, gedung ini ditetapkan sebagai bangunan bersejarah. Museum Thamrin merupakan salah Bangunan yang masuk dalam peta cagar budaya di wilayah Pemerintah DKI Jakarta.



Awalnya bangunan ini berfungsi sebagai rumah pemotongan hewan. Kemudian sempat berganti menjadi gudang buah yang diimport dari Australia yang akhirnya dibeli oleh MH Thamrin dari Meneer Has dan digunakan sebagai tempat kegiatan Pergerakan Nasional Indonesia menuju kemerdekaan. Gedung ini menjadi Sekretariat Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) sehingga dikenal dengan Gedung Permufakatan. DI gedung inilah disemaikan semangat kebangsaan, perlawanan terhadap penjajahan. Di sini dilakukan rapat-rapat pergerakan nasional, kongres rakyat Indonesia, pertunjukan sandiwara, kursus-kursus, kegiatan bazar, dan lainnya. Gedung ini diamanatkan untuk perjuangan menuju kemerdekaan. Para tokoh pemimpinan bangsa periode pergerakan nasional selalu memanfaatkan gedung ini. Gedung ini mempunyai peranan yang sangat besar dalam menegakkan semangat perjuangan melawan penjajah terutama setelah tokoh-tokoh pergerakan nasional nonkooperatif ditangkap di seluruh Indonesia. 


TUGU PROKLAMASI
Gambar 2 : Tugu Proklamasi
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/jakarta/monumen-soekarno-hatta-8.jpg

Gambar 3 : Tulisan pada Tugu Petir
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/jakarta/monumen-soekarno-hatta-9.jpg

Gambar 4 : Monumen Soekarno-Hatta
Sumber : http://rosodaras.files.wordpress.com/2010/05/tugu-proklamasi.jpg
Gambar 5 : Posisi Tugu Petir atau Tugu Proklamasi dan Monumen Soekarno-Hatta
Sumber : http://thearoengbinangproject.com/jakarta/monumen-soekarno-hatta-10.jpg



Tugu Petir atau Tugu Proklamasi berada di dalam kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi, Jakarta Pusat. dahulunya Jalan ini bernama Jl. Pegangsaan Timur no. 56 yang mana lokasi tersebut adalah tempat berdirinya rumah Presiden Soekarno. 

Di dalam kompleks ini juga terdapat sebuah monumen yaitu Monumen Soekarno-Hatta. Monumen ini berupa 2 buah patung dari Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dengan gaya mirip seperti dokumentasi foto ketika Naskah Proklamasi pertama kali dibacakan. Ditengah-tengah kedua patung itu terdapat patung naskah proklamasi yang terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya. patung-patung ini dibuat dalam skala yang lebih besar. Hal ini yang kerap membuat orang salah kaprah. banyak yang menganggap bahwa rumah Presiden Soekarno berada tepat di titik Monumen Soekarno-Hatta di bangun. Hal ini salah karena rumah Presiden Soekarno sebenarnya berada di titik Tugu Petir didirikan. Tugu ini juga disebut TUGU PERINGATAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI.

MUSEUM SASMITALOKA JENDERAL AHMAD YANI

Gambar 6 : Museum Sasmitaloka Ahmad Yani
Sumber : http://www.indonesiabox.com/s3cdn/2011/03/museum-sasmita-loka-ahmad-yani.jpg

Terletak di jalan Lembang No. 58 dan jalan Laruharhari No. 65, Jakarta Pusat, DKI jakarta. Museum ini dahulunya adalah Rumah dari Jenderal Ahmad Yani dan merupakan saksi bisu dari kekejaman G30SPKI. Disinilah lokasi dibunuhnya Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. Peristiwa yang sudah menjadi bagian dari sejarah di Indonesia dan menyimpan kisah tak terlupakan.

Bangunan ini dibangun sekitar tahun 1930-1940an pada saat pengembangan wilayah Menteng dan Gondangdia, semula gedung ini dipergunakan sebagai rumah tinggal pejabat maskapai swasta Belanda/Eropa. Pada tahun 1950-an, bangunan ini dikelola oleh Dinas Perumahan Tentara, yang kemudian bangunan ini dihuni oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai perwira tinggi TNI Angkatan Darat dengan jabatan terakhir Menteri / Panglima Angkatan Darat RI. Rumah ini menjadi tempat bersejarah karena Letjen A. Yani dibunuh dan diculik oleh gerombolan PKI pada tanggal 30 September 1965, yang kemudian dikenal dengan peristiwa pemberontakan G-30S/PKI , sebelum akhirnya sekarang dijadikan Museum.


Gambar 7 : Ilustrasi Kejadian Ahmad Yani menampar salah satu pasukan Cakrabirawa
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbHWhrIzEMeYC0BWDqjW3f9n0Ro_EyQ62W5PpAAAifeTSvvt8MoiTc0LHd_brz8A0Vwv2qJMu2O7bOjfj7XhlloCzTx_8iCjATa6FPTJcNHuYLsM9axWEIgLUo8GcXuPjV_7_KMdQjxn8/s1600/19.JPG

Sedikit cerita tentang kejadian G-30S/PKI. hari itu 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan Cakrabirawa datang dari bagian belakang rumah Bapak (Letjen A. Yani) untuk menjemput dengan alasan Bapak dipanggil Presiden Soekarno karena ada urusan yang gawat. Bapak yang merasa aneh menyanggupi dan mau ganti baju dulu, tapi pasukan itu memaksa supaya Bapak cepet ikut. Karena kesal diperintah anak buahnya, ia menampar salah satu pasukan itu. Tapi kemudian beliau diberondong peluru yang mengenai kaca pintunya, lukisannya, lemari, dan tentunya tubuh Bapak yang langsung tersungkur di depan pintu belakang. Setelah itu jasadnya diseret oleh pasukan Cakrabirawa untuk kemudian “dibuang” di Lubang Buaya.
(Sumber : http://dashtea.blogspot.com/2011_02_01_archive.html)


MUSEUM PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI

Gambar 8 : Museum perumusan naskah proklamasi
Sumber : http://panel.mustangcorps.com/admin/fl/upload/files/mpc1.jpg

Bangunan ini pada awalnya merupakan sebuah rumah yang digunakan oleh Konsul inggris. Villa ciptaan Blakenberg ini berkarakter anggun dan sedikit reserved dengan gaya Art Deco dan dibangun pada pertengan tahun 1920-an oleh asuransi Nillmij. Bnagunan ini digunakan sebagai rumah resmi bagi konsulat inggris sampai tahun 1942 dan kemudian berganti penunggu menjadi Duta besar Inggris pada tahun 1950-1981. Pada saat masa penjajahan Jepang, rumah ini ditempati oleh Laksamana Muda Maeda, Kepala Kaigun. Terletak di Myakodori No. 1 (Sekarang Jl. imam Bonjol).

Gambar 9 : Ilustrasi suasana perumusan naskah proklamasi oleh Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo
Sumber : http://images.detik.com/content/2012/08/16/1383/141754_perumusan2.jpg


Rumah Ini dianggap aman dari gangguan yang sewenang-wenang dari Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Tanggal 17 Agustus 1945 dini hari, di ruang makan rumah Maeda, dirumuskanlah naskah atau teks proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh 3 orang pemimpin indonesia yaitu, Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo. Ir. Soekarnolah yang menulis langsung naskah tersebut sedangkan Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo merumuskan dengan lisan. Setelah selesai, mereka ke serambi depan untuk menemui 25 tokoh diantaranya Dr. Rajiman Wediodiningrat, M. Sutarjo Kartohadikusumo, Iwa Koesoemasoemantri, Abikusno Tjokrosuyoso, Ki Hajar Dewantara, dll sehingga berjumlah 31 orang. Pada pukul 04.00, Ir. soekarno membacakan secara lisan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, setelah disetujui, naskah tersebut diketik olleh Sayuti Melik dan pada pukul 10.00, diadakan upacara pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bangunan ini pernah menjadi Perpustakaan Nasional yang kemudian pada tahun 1992 gedung ini digunakan sebagai museum Perumusan Naskah Proklamasi.

RUMAH SAKIT PGI CIKINI
(EKS RUMAH RADEN SALEH)

Gambar 10 : Rumah Sakit PGI Cikini. Nampak para dokter sedang berfoto dengan Ibu Negara
Sumber : http://www.presidenri.go.id/ibunegara/imageGalleryD.php/967.jpg



Gambar 11 : Rumah Raden Saleh di Batavia tahun 1875-1885

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Sakit_PGI_Cikini


Berdiri pada 12 Januari 1898 sebagai RS Ratu Emma (Vereniging voor Ziekenverpleging Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini), RS Cikini ini didirikan oleh Ny. Adriana Josina de Graaf-Kooman, seorang istri dari misionaris Belanda. Beliau membangun rumah sakit ini dengan tujuan untuk merawat orang-orang sakit dari berbagai golongan masyarakat tanpa memandang kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, dan agama. Biaya pendirian rumah sakit diperoleh dari Ratu Emma, digunakan untuk membeli bekas rumah pelukis kenamaan Raden Saleh di Menteng (Huis Van Raden Saleh). Nirin Ninkeulen dari Depok menjadi pribumi pertama yang bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma. Rumah Sakit Ratu Emma berubah nama menjadi Rumah Sakit Tjikini pada 1 Agustus 1913.

Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Pasca pendudukan Jepang (Agustus 1945 - Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI dan kemudian DVG, hingga akhir 1948 RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dipimpin oleh R.F. Bozkelman. Tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diserahkan kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara. Selanjutnya diangkat dr. H. Sinaga, sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini kemudian diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Pada 31 Maret 1989, sehubungan dengan perubahan nama DGI menjadi PGI, dan adanya ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, maka nama Yayasan RS DGI Tjikini disempurnakan menjadi Yayasan Kesehatan PGI Cikini.

PUSAT KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI
Gambar 12 : Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki 
Sumber : http://www.gedoor.com/wp-content/uploads/2012/01/tmn_IsmailMarzuki.jpg

Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki atau yang lebih populer Taman Ismail Marzuki (TIM) merupakan sebuah pusat kesenian dan kebudayaan  yang berlokasi di jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Di sini terletak Institut Kesenian Jakarta dan Planetarium Jakarta. Selain itu, TIM juga memiliki enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan bioskop.

Diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta Ali Sadikin, seorang Jenderal TNI Angkatan laut, tanggal 10 November 1968. TIM dibangun di atas areal tanah seluas sembilan hektar. Dulu tempat ini dikenal sebagai Taman Raden Saleh (TRS) yang merupakan Sebuah Kebun Binatang Jakarta sebelum dipindahkan ke Ragunan. Pengunjung TRS selain dapat menikmati kesejukan paru-paru kota dan melihat sejumlah hewan, juga bisa menonton balap anjing di lintasan Balap Anjing yang kini berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa fakultas perfilman dan televisi Institut Kesenian Jakarta. Ada juga lapangan bermain sepatu roda berlantai semen. Fasilitas lainnya ialah dua gedung bioskop, Garden Hall dan Podium melengkapi suasana hiburan malam bagi warga yang suka nonton film. Tetapi sejak 37 tahun lalu suasana seperti itu tidak lagi dapat ditemukan. Khususnya setelah Bang Ali menyulap tempat ini menjadi Pusat Kesenian Jakarta TIM.

MUSEUM SASMITALOKA JENDERAL BESAR A.H. NASUTION



Gambar 12 : Museum sasmitaloka Jenderal Besar A.H. Nasution
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR999qfPjSFrvdB5pO6V8yQoZ0ptutsm801ki5SQtYW-O1Re1UXjXtfY-UORRubzZTOjnpuJiNJ1LOJg3lZaQkciSWPN95Ej5fmqO_0h4pIBNfiTJbfFvsJhtt1QFQOUBaquXdxNSnhXw/s1600/museum+ah+nasution.jpg


Bangunan ini pada mulanya merupakan kediaman dari Pak Nasution (Jenderal Besar Abdul Haris Nasution) bersama dengan keluarganya sejak menjabat sebagai KSAD (Kepala Staff Angkatan Darat) tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Selanjutnya keluarga  Nasution pindah rumah pada tanggal 29 Juli 2008 sejak dimulainya renovasi rumah pribadi tersebut menjadi museum.

Di kediaman ini Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution telah menghasilkan banyak karya juang yang dipersembahkan bagi kemajuan bangsa dan negaranya.

Gambar 13 : Diorama ketika Joana Nasution ditodong Senjata oleh paasukan Tjakrabirawa sembari mengendong Ade Irma yang tertembak
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR999qfPjSFrvdB5pO6V8yQoZ0ptutsm801ki5SQtYW-O1Re1UXjXtfY-UORRubzZTOjnpuJiNJ1LOJg3lZaQkciSWPN95Ej5fmqO_0h4pIBNfiTJbfFvsJhtt1QFQOUBaquXdxNSnhXw/s1600/museum+ah+nasution.jpg
Di tempat ini pulalah pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawa Pak Nasution. Pasukan Tjakrabirawa G-30S/PKI berupaya menculik dan membunuh beliau, namun hal ini gagal dilakukan. Dalam peristiwa tersebut, putri kedua beliau, Ade Irma Nasution dan ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean gugur.
Museum Nasional Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution diresmikan pada hari Rabu, 3 Desember 2008 sore (bertepatan dengan hari kelahiran Pak Nasution), oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


MASJID CUT MUTIA
Gambar 14 : Masjid Cut Mutia
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitSAfcuEHVbEBR9GrunQH4t32stxh_r604lkZYRQ1Kz8Eg-o8sp724mzdqpWkKyi1NOTn10mXlhpgFpoOctw_pAD1e3K6EOwkVqQu2ZwlVSCVJdSudoF4hyphenhyphenf8tBlRdUtd6_fVCqQ3gy8E/s1600/masjid_cut_meutia.jpg
Gambar 15 : Kantor N.V. de Bouwploeg di awal abad 20
Sumber : http://afandri81.files.wordpress.com/2012/09/n-v-de-bouwploeg.jpg

Mesjid Cut Mutia itu dulunya merupakan kantor NV BouwPleg. Kantor biro arsitek (sekaligus developer) Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 – 1955). Bangunan yang bergaya arsitektur Art Nouveau ini pernah menjadi Kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan  Kantor Kempeitai Angkatan Laut (pada jaman jepang).

Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini sempat menjadi Kantor Urusan Perumahan dan kemudian berganti lagi menjadi Kantor Urusan Agama, yang akhirnya ditetapkan sebagai tempat ibadah oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin. Oleh karena itu, dapat dimaklumi kalau bangunan ini tidak mencerminkan bentuk Masjid. hal ini dikarenakan bangunan ini pada awalnya dibangun bukan bertujuan sebagai sebuah Masjid. Masjid ini termasuk salah satu bangunan penting dan bersejarah yang menjadi ciri khas bangunan di daerah Menteng dan sekitarnya.


GEDUNG JOANG 45'

Gambar 16 : Gedung Joang 45
Sumber : http://wisatasejarah.files.wordpress.com/2009/03/gedung_joeang45.jpg?w=300&h=200

Gedung ini dibangun sekitar tahun 1920-an yang pada saat ini dipergunakan sebagai Museum Joang ’45. Gedung ini pada mulanya adalah sebuah hotel yang dikelola oleh keluarga “L.C. Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama menetap di Batavia. Hotel ini diberi nama Schomper sesuai nama pemiliknya. Pada saat itu hotel ini merupakan salah satu hotel yang baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan yang berisi kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya.
Bangunan yang berisi kamar-kamar penginapan tersebut kini tersisa hanya beberapa saja yaitu di sisi utara gedung utama yang pada saat ini dipergunakan sebagai ruang Kafe dan kantor pengelola Museum Joang 45. Pada masa Pendudukan Jepang Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel tersebut diambil alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh seorang Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan program pendidikan politik yang dimulai pada tahun 1942 untuk mendidik pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Akhirnya pada tahun 1974 bangunan ini diresmikan sebagai Museum oleh Presiden Soeharto setelah dilakukan renovasi.

MUSEUM SUMPAH PEMUDA

Gambar 17 : Museum Sumpah Pemuda kini
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJFmTqq61D3_dukYT-15SGQ6qwwAEsiqs-1iW2-g89m2kSmHcb12OADQFBSmneoWIBnU30YtLaGxrpUccn0sPghBkbbPFdD1NYjvM1LCpuDimmzyh-3VN23Qfy8E-XXu-diYD5OYUl15cx/s1600/museum+sumpah+pemuda.jpg


Gambar 18 : Museum Sumpah Pemuda tempo dulu
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlYIq2OKO94O1-Vfhcmo_afzOYc0ScLIgTH1rKskjYMEzh5y0aVhLuJVU5771Qdi5XvAYjNfAgIcfQvumU5vUB-HXFr8fwXbebJwKZED1lTxOVPBdo3vJhAfaJcDJi3qF86AfxYWrzsjI/s1600/Gedung-Sumpah-Pemuda.jpg

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106 ini merupakan tempat dibacakannya Sumpah Pemuda. Dahulu rumah ini merupakan rumah kos untuk pelajar dan mahasiswa STOVIA milik Sie Kok Liong.
Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah tinggal beberapa tokoh pergerakan, seperti
  • Muhamad Yamin
  • Aboe Hanifah
  • Amir Sjarifuddin
  • A.K Gani
  • Mohammad Tamzil atau Assaat dt moeda
Sejak 1925 gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias STOVIA. Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.
Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang bertugas unuk mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim.
Pemerintah Hindia-Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Pemerintah memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk didalam rapat ketiga Kongres Pemuda II.
Di gedung ini juga lahir majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.
Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel. Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951-1970.
Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kok Liong yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April - 20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL
Gambar 19 : Museum Kebangkitan Nasional
Sumber : http://museumku.files.wordpress.com/2010/04/muskitnas-1.jpg
bangunan ini dahulunya adalah bangunan sekolah kedokteran yang didirikan oleh Belanda untuk orang-orang bumiputra bernama STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten) Sebelum Pindah ke Gedung yang baru di Jl. Salemba no. 6 (Sekarang Gedung Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran). Gedung sekolah kedokteran ini mulai dibangun sejak tahun 1899 dan selesai pada tahun 1901. Di gedung ini, para mahasiswa bumiputra dari berbagai daerah di Indonesia dididik selama 7—9 tahun dan diharuskan tinggal dalam sebuah asrama sekolah.
Gambar 20 : Diorama kegiatan belajar mengajar para mahasiswa STOVIA
Sumber : http://cybertravel.cbn.net.id/UserFiles/Image/cybertravel/Time%20Traveller/2010/Museum%20kebangkitan.JPG
Gedung STOVIA merupakan tempat berkumpulnya orang-orang terpelajar bumiputra dari berbagai daerah di Nusantara. Di gedung inilah bibit-bibit nasionalisme dan kebangkitan bangsa Indonesia mulai bersemai, tumbuh, dan menyebar. Pada tanggal 20 Mei 1908, di gedung ini telah lahir sebuah organisasi pergerakan nasional Budi Utomo yang dipelopori oleh beberapa mahasiswa STOVIA, antara lain dr. Sutomo, dr. Ciptomangunkusumo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan dr. Setiabudi (Douwes Dekker). Kemunculan organisasi ini, dalam catatan sejarah, dianggap sebagai tonggak penting dalam proses terbentuknya kesadaran nasional untuk melawan penjajah Belanda.
Tanggal lahir organisasi Budi Utomo kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai hari Kebangkitan Nasional. Pada masa pendudukan Jepang, yakni tahun 1942, gedung eks STOVIA ini difungsikan sebagai penjara bagi tentara Belanda yang menjadi tawanan perang. Pada tahun 1920 pendidikan Stovia dipindahkan ke Gedung baru, di Jl. Salemba No. 6, karena gedung lama tidak memenuhi syarat lagi untuk pendidikan kedokteran. Pada tahun 1925 Gedung Stovia digunakan untuk pendidikan MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA), dan Sekolah Asisten Apoteker. Sekolah ini berlangsung sampai tahun 1942, karena sejak kedatangan bala tentara Jepang (1942-1945) gedung ini digunakan untuk tempat penampungan bekas tentara Belanda (sebagai tawanan perang).
Setelah Indonesia merdeka, gedung tua bekas sekolah STOVIA tersebut masih berdiri kokoh dan baru direnovasi oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 6 April 1973. Setelah beberapa lama, gedung ini diresmikan oleh Presiden Soeharto menjadi Gedung Kebangkitan Nasional, dan pada tanggal 27 September 1982 pengelolaannya dialihkan dari Pemerintah DKI Jakarta kepada Pemerintah Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Dengan kewenangan ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui SK Mendikbud No. 030/0/1984 akhirnya menetapkan penyelenggaraan sebuah museum di dalam Gedung Kebangkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
MONUMEN NASIONAL
Gambar 21 : Monumen Nasional
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijiUFIWIGq9p1-VpVIcaGIkaY1eDeHZ4S8V-9RkEbFTI7l0BtFzpbjiODvVk8gxr5GifdRT8jJUnQzWAvJyqDSdh_R-9osqOzXimnGE8AEgzHn5kUOCE64Cxw2jrlIIIWmId8Zw-7vF44o/s1600/tugu-monas.jpg
Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Pada tanggal 17 Agustus 1954, sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk Lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45 yang melambangkan 17 Agustus 1945 ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono dan mulai dibangun 17 Agustus 1961

ISTANA NEGARA
Gambar 22 : Istana Negara Republik Indonesia
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOx_d8Vq5gKtl9wdBCUO8OqsZMA2EgTcV34dcshgfxQqpLHbNlej9i4nlRXTvNO4gsx6UOL5J-18XvA6ZCckPqGIWGIL01dMFQI9Z3w3-NiKRfrNODRg5J80L4jyccKVpToo48CC-2M69x/s1600/Istana+Merdeka+Jakarta.jpg
Pada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieters Gerardus van Overstraten  dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.

Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli 1821 oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.

Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah. Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook.



Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 ber-arsitektur gaya Yunani  Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada  1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti.


Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, dan jamuan kenegaraan.

Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge  tahun 1873 dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir. Istana yang diarsiteki Drossares pada awal masa pemerintahan RI sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamungkubuono IX , sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J. Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.

Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.

Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950 .

Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang  sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih dari 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Merdeka sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan negara.

Sebagai pusat pemerintahan negara, kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri).

Bangunan seluas 2.400 m2 itu terbagi dalam beberapa ruang. Yakni serambi depan, ruang kredensial, ruang tamu/ruang jamuan, ruang resepsi, ruang bendera pusaka dan teks proklamasi. Kemudian ruang kerja, ruang tidur, ruang keluarga/istirahat, dan pantry (dapur).

Sepeninggal Presiden Soekarno, tidak ada lagi presiden yang tinggal di sini, kecuali Presiden  Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih tinggal di Jalan Cendana. Tapi Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan men-set up sebuah ruang kerja bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara, sehingga disebut sebagai Ruang Jepara serta lebih banyak berkantor di Bina Graha.

MASJID ISTIQLAL


Gambar 23 : Masjid Istiqlal
Sumber : http://zaldym.files.wordpress.com/2010/07/masjid_istiqlal1.jpg

Setelah perang kemerdekaan Indonesia, mulai berkembang gagasan besar untuk mendirikan masjid nasional. Ide pembangunan masjid tercetus setelah empat tahun proklamasi kemerdekaan. Gagasan pembangunan masjid kenegaraan ini sejalan dengan tradisi bangsa Indonesia yang sejak zaman kerajaan purba pernah membangun bangunan monumental keagamaan yang melambangkan kejayaan negara. Misalnya pada zaman kerajaan Hindu-Buddha bangsa Indonesia telah berjaya membangun candi Bororbudur dan Prambanan. Karena itulah di masa kemerdekaan Indonesia terbit gagasan membangun masjid agung yang megah dan pantas menyandang predikat sebagai masjid negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Akhirnya diadakanlah sebuah sayembara untuk desain Masjid ini. Pada tanggal 5 Juli 1955, Dewan Juri menetapkan F. Silaban sebagai pemenang pertama. Penetapan tersebut dilakukan di Istana Merdeka, sekaligus menganugerahkan sebuah medali emas 75 gram dan uang Rp. 25.000. Pemenang kedua, ketiga, dan keempat diberikan hadiah. Dan seluruh peserta mendapat sertifikat penghargaan.

Pemancangan tiang pertama dilakukan oleh Presiden Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961 bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, disaksikan oleh ribuan umat Islam. Namun karena keadaan negara yang kurang kondusif, akhirnya masjid ini dapat dirampungkan 17 tahun kemudian dan diresmikan penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978 dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah) dan US$. 12.000.000 (dua belas juta dollar AS).

GEDUNG KESENIAN JAKARTA

Gambar 24 : Gedung Kesenian Jakarta
Sumber : http://farm4.static.flickr.com/3535/3956176712_ddb2465a9a.jpg


Gedung yang berpenampilan mewah ini pernah digunakan untuk Kongres Pemoeda yang pertama (1926). Dan, di gedung ini pula pada 29 Agustus 1945, Presiden RI pertama Ir. Soekarno meresmikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian beberapa kali bersidang di gedung ini. Kemudian dipakai oleh Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi & Hukum (1951), dan sekitar tahun 1957-1961 dipakai sebagai Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).

Selanjutnya tahun 1968 dipakai menjadi bioskop “Diana” dan tahun 1969 Bioskop “City Theater”. Baru pada akhirnya pada tahun 1984 dikembalikan fungsinya sebagai Gedung Kesenian (Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 24 tahun 1984). Gedung ini direnovasi pada tahun 1987 dan mulai menggunakan nama resmi Gedung Kesenian Jakarta. Sebelumnya gedung ini dikenal juga sebagai Gedung Kesenian Pasar Baru dan Gedung Komidi. Untuk penerangan digunakan lilin dan minyak tanah dan kemudian pada tahun 1864 digunakan lampu gas. Pada tahun 1882 lampu listrik mulai digunakan untuk penerangan dalam gedung.


Sejarah Tjiliwung


BERAWAL DARI PEMBANGUNAN BATAVIA

Saat awal pembangunan, Belanda membelah Ciliwung menjadi 2 bagian sama besar dengan Batavia berada diantaranya.Masing-masing bagian kemudian dipotong menjadi parit-parit kecil yang sejajar dan melintang dengan pola kisi-kisi. Pola ini meniru masterplain kota-kota dinegara Belanda yang mampu melawan amukan air laut pasang dan banjir.

1610


sketch peta Kota Jakatra tahun 1610 an, masih kosong, hanya ada Masjid, Pasar, alun2 disebelah kiri sungai Ciliwung. Diujung sungai Ciliwung ada pelabuhan kecil dan dua rumah, Mauritius dan Nassau.
Garis titik2 sebelah kanan sungai adalah lokasi kota Batavia (belum mulai dibangun).

1627




pada th. 1627, sudah ada Kasteel Batavia , Stadhuis (sekarang Museum Fatahilah), Gereja, Pasar Ikan, sudah ada nama jalan.




SEJARAH CILIWUNG


Pada masa awal Batavia, perahu kecil berlayar di sepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang dekat Kali Besar ke kapal yang berlabuh di laut.

Pada pertengahan 1630, Sungai Ciliwung mengalami pengendapan. Untuk mengatasinya dibangun sebuah parit sepanjang 800 m ke laut yang secara rutin digali untuk melancarkan aliran air. Panjang parit bertambah sampai 1.350 m (1827) dari muara sungai akibat pasir dan lumpur yang terus bertumpuk apalagi dengan adanya gempa bumi pada bulan Januari 1699.
Note: gmbr di atas,  tjiliwung thn 1698 *bersih dan bisa diminum airnya

1740 -1900


Pada tahun 1740 air sungai ini sudah dianggap tidak sehat karena segala sampah dan buangan air limbah rumah sakit dialirkan ke sungai.

Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung oleh orang Belanda digunakan sebagai air minum.
Note: mencuci pakaian di sg. Tjiliwung (molenvliet) 1932

NOW (2012)

Warga memanfaatkan debit air Ciliwung yang tengah surut untuk memulung barang bekas.






Dari Kota Jakarta, alirannya bercabang dua di daerah Manggarai: yang satu melalui tengah kota, antara lain sepanjang daerah Gunung Sahari, dan yang lain melalui pinggir kota, antara lain melalui Tanah Abang.



















KESIMPULAN

1. Dari data- data diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas dari air ciliwung 66.5–95.0 (medium to excellent category) pada1993, sementara itu , ranged diantara 41.81–70.67 (medium to excellent category) pada 2005.

Kualitas air ciliwung menurun 33 % selama jangka waktu 12 tahun dan semua itu rata- rata dikarenakan oleh perubahan land use. 

2.Pada tahun 1970, lahan yang belum berkembang seluas 66% dari DAS atau sekitar 25.687,99 hektar. Namun pada tahun 2000, adanya penurunan dr lahan yg belum dikembangkan , yaitu 38% dari DAS (sekitar 15.079,84 hektar).

3. Dalam jangka waktu 30 tahun (1970- 2000) , luas dari land use menurun hingga 55 % atau sekitar 7774 Ha.

4.Penggunaan lahan di sekitar Ciliwung bervariasi di daerah hulu, tengah dan hilir.  Lahan kosong di daerah hulu adalah 21% , 13% di daerah  tengah dan 2 % untuk daerah hilir. Pengunaan lahan untuk  pemukiman , kawasan industri dan kawasan bisnis semakin tinggi di daerah hilir.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar